Bisnismanado.com, Jakarta – Pekan ini menjadi momen yang membanggakan bagi mata uang rupiah. Di tengah gejolak pasar global dan kekhawatiran atas fiskal Amerika Serikat, rupiah justru menunjukkan performa prima dengan mencatatkan sederet rekor penguatan.
Mengacu pada data Refinitiv dikutip CNBC Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada perdagangan Jumat (23/5/2025) di level Rp16.215 per dolar AS. Ini berarti rupiah terapresiasi 0,67% dibandingkan hari sebelumnya.
Tak hanya itu, sepanjang pekan ini rupiah menunjukkan konsistensinya dengan menguat selama lima hari berturut-turut. Ini merupakan penguatan mingguan kedua secara beruntun dan yang paling signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Level Rp16.215 yang tercapai pada akhir pekan ini menjadi posisi terkuat rupiah sejak 17 Februari 2025, saat berada di Rp16.210 per dolar AS. Artinya, dalam lebih dari tiga bulan, rupiah akhirnya berhasil kembali ke titik tertingginya.
Jika dilihat secara mingguan, rupiah menguat sebesar 1,34%. Hal ini cukup langka mengingat sejak awal tahun 2025, rupiah baru sembilan kali mencatat penguatan mingguan — selebihnya cenderung melemah.
Yang menarik, bukan hanya rupiah yang menguat pekan ini. Sebagian besar mata uang Asia juga menunjukkan kinerja positif. Won Korea mencatatkan penguatan tertinggi sebesar 2,45%, diikuti oleh Baht Thailand dan Yen Jepang.
Kondisi ini dipicu oleh merosotnya nilai dolar AS. Indeks dolar ditutup di 99,19, posisi terendahnya sejak 28 April 2025. Ketidakpastian fiskal di Amerika Serikat membuat para pelaku pasar mencari aset aman, sehingga berdampak pada penguatan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Salah satu pemicu utama kejatuhan dolar adalah pemangkasan peringkat utang AS oleh Moody’s minggu lalu. Perhatian investor kini tertuju pada lonjakan utang Negeri Paman Sam yang telah mencapai US$36 triliun, ditambah lagi dengan proposal kebijakan fiskal baru dari Presiden Donald Trump.
RUU pajak terbaru yang dijuluki Trump sebagai “One Big Beautiful Bill” telah disahkan di DPR AS dan kini memasuki pembahasan di Senat. RUU ini diperkirakan akan menambah beban fiskal negara secara signifikan, membuat sentimen pasar tetap tertekan dalam waktu dekat.
“Minggu ini kita melihat adanya pergeseran fokus dari tarif ke risiko fiskal. Hal itu telah menyebabkan banyak kegugupan di pasar,” ujar Moh Siong Sim, ahli strategi mata uang di Bank of Singapore.
“Lintasan fiskal di AS telah sampai pada titik di mana pasar mempertanyakan apakah ‘ini dapat terus berlanjut?'” imbuhnya.
Dengan tren ini, penguatan rupiah tampaknya masih memiliki ruang untuk berlanjut — selama tekanan eksternal tetap berpihak pada aset Asia.
(bim)
Tinggalkan Balasan