Jakarta, CNBC Indonesia – Resty Armenia, seorang warga negara Indonesia (WNI), kini sukses berkarier sebagai guru PNS di Norwegia dengan gaji sekitar Rp80 juta per bulan. Perjalanannya dimulai secara tidak terduga saat pandemi COVID-19 melanda.
Pada awal 2020, Resty baru menyelesaikan program master dengan beasiswa Uni Eropa. Di tengah ketidakpastian akibat pandemi, ia mencoba melamar pekerjaan sebagai guru pengganti di sebuah Taman Kanak-Kanak di Stavanger, Norwegia. Saat itu, kota tersebut tengah kekurangan tenaga pengajar karena banyaknya guru tetap yang sakit akibat COVID-19.
“Ternyata diterima, padahal Bahasa Norwegia saya saat itu belum lancar,” ujarnya, dikutip CNBC Indonesia (3/3/2024). “Saya cukup beruntung karena saat itu posisinya untuk guru TK, jadi komunikasinya masih level dasar,” tambahnya.
Bermodalkan pengalaman tersebut, Resty yang memiliki latar belakang di bidang kesejahteraan anak semakin mantap berkarier di negara Nordik tersebut. Keputusannya untuk merantau ke Eropa jauh sebelum tren #KaburAjaDulu populer di Indonesia terbukti membuahkan hasil.
“Di sini ada banyak kesempatan kerja untuk orang asing asal bisa bahasanya,” katanya.
Norwegia sendiri dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat kepuasan hidup tertinggi di dunia, menurut Indeks Kehidupan Lebih Baik OECD. Faktor seperti standar hidup tinggi, layanan publik yang berkualitas, serta sistem sosial yang kuat membuat banyak orang tertarik menetap di sana.
Setelah beberapa waktu bekerja sebagai guru pengganti, Resty akhirnya mendapat posisi tetap sebagai social teacher (guru bimbingan sosial) di sebuah sekolah dasar di Stavanger. “Saya ditugaskan sebagai social teacher untuk kelas 1 sampai kelas 4 di sini,” ujarnya.
Sebagai guru PNS di Norwegia, ia menerima gaji sekitar Rp80 juta per bulan, belum termasuk berbagai tunjangan seperti transportasi, pakaian, dan subsidi sepeda. Meski biaya hidup di Norwegia tinggi dan pajaknya besar, Resty masih bisa menabung hingga 40% dari penghasilannya.
Pemerintah Norwegia menerapkan sistem pajak progresif, di mana semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar pula pajaknya. Meski begitu, mayoritas warganya puas karena pajak yang mereka bayarkan dikelola dengan baik untuk layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas publik lainnya.
Tantangan dan Keuntungan Hidup di Norwegia
Resty menilai Norwegia sebagai negara yang ideal untuk bekerja dan membangun keluarga, terutama karena sistem jaminan sosial dan parental leave yang sangat baik. “Saya pernah tinggal di beberapa negara di Asia dan Eropa, dan menurut saya di sini yang terbaik,” katanya.
Namun, tidak ada negara yang sempurna. Salah satu tantangan terbesar tinggal di Norwegia adalah musim dingin yang panjang, mencapai enam bulan dalam setahun. “Faktor cuaca itu tantangan, tapi saya dapat subsidi pakaian yang bisa dipakai untuk beli jaket musim dingin dengan kualitas bagus,” ujarnya.
Selain itu, budaya work-life balance yang tinggi di Norwegia juga menjadi tantangan tersendiri bagi orang yang terbiasa dengan fleksibilitas di Indonesia. Bahkan, dokter di Norwegia tidak bisa dihubungi setelah jam kerja berakhir. “Layanan kesehatan memang gratis, tapi di sini untuk ketemu dokter itu tak semudah seperti di Indonesia,” katanya.
Soal Tren #KaburAjaDulu
Meski sudah menetap selama lima tahun di Norwegia, Resty tetap mengikuti perkembangan di Indonesia. Ia memahami keresahan banyak anak muda yang ingin mencari kehidupan lebih baik di luar negeri.
“Mending kabur saja ke negara lain yang mau menghargai pendidikan dan pengalaman dengan gaji sesuai, berdasarkan merit, tanpa nepotisme,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa merantau ke luar negeri bukan berarti kurang nasionalis. “Enggak usah takut dicap nasionalisme rendah. Mending jadi diaspora yang tetap cinta rendang dan ingat pakai Bahasa Indonesia di negara lain, daripada jadi politikus yang pakai batik tiap hari tapi nilep duit rakyat,” pungkasnya.
(*/bim)
Tinggalkan Balasan